Salah satu kriteria
perpustakaan digital adalah keterlibatan pemustaka. Menurut Ida F. Priyanto
(2017) keterlibatan pemustaka dapat diukur dari seberapa jauh keterlibatan
pemustaka dalam perpustakaan digital. Keterlibatan pemustaka antara lain melalui
fungsi umpan balik, kolaborasi dalam komunikasi ilmiah dan pengembangan koleksi
perpustakaan digital.
Implementasi keterlibatan
pemustaka salah satunya pada Project
Gutenberg, yaitu upaya yang dilakukan relawan untuk mendigitalisasi dan
mengarsipkan setiap karya budaya. Project Gutenberg merupakan perpustakaan
digital tertua yang dirintis oleh Mischael S Hart pada Tahun 1971. Pada aspek keterlibatan
pemustaka terdapat interaksi diantara perpustakaan dengan pemustaka. Komunikasi
perpustakaan sebagai lembaga terjalin melalui pustakawan. Project Gutenberg merupakan keterbukaan komunikasi di era digital
pada perpustakaan. Keterbukaan yang memberikan kesempatan kepada pemustaka
untuk memberikan kontribusi dalam pengembangan koleksi perpustakaan digital.
Bagaimana perkembangan
perpustakaan dari sudut pandang komunikasi dengan pemustaka seiring sejarah perpustakaan
sejak era cetak hingga digital? Paper
yang ditulis oleh Olga Einasto berjudul “Transforming
library communication: from Gutenberg to Zuckerberg” dapat memberikan gambarannya.
Olga Einasto (2014) memaparkan perkembangan perpustakaan sejak era cetak, Gutenberg,
menuju era digital atau “Global network society” yang diberi
istilah era Zuckerberg, dikenal
dengan era evolusi komunikasi melalui media sosial. Perkembangan perpustakaan
dari era cetak ke era digital turut merubah komunikasi yang terjalin dengan
pemustakaanya. Olga Einasto menuangkannya dalam tabel 1 berikut ini:
Berdasarkan keterangan pada table
1 mengenai perubahan komunikasi perpustakaan di era Gutenberg (cetak) dan era Zuckenberg
(media Baru) dapat kita pahami sebagai berikut yaitu pada era Gutenberg
perpustakaan berorientasi pada koleksi (Collection-Centered).
Keberhasilan perpustakaan diukur dari kuantitas dan kualitas koleksi. Sedangkan
pada era Zuckerberg (Media Baru)
perpustakaan berorientasi pada manusia (Human-centered).
Keberhasilan perpustakaan diukur dari seberapa tinggi akses pada konten yang
dilakukan oleh pemustaka.
Berikutnya yaitu pola
komunikasi perpustakaan pada era Gutenberg
dikatakan sebagai “Communication in the
building”. Maksudnya adalah proses komunikasi perpustakaan dengan pihak
lain baik pemustaka maupun pemangku kepentingan berlangsung secara tatap muka
langsung. Saluran komunikasi dengan pola komunikasi tersebut menjadi terbatas
karena belum ada medium lain yang dapat dijadikan perantaranya. Komunikasi
bersifat monolog atau satu arah. Tidak
ada peluang pemustaka untuk menyempaikan masukan dan respon terhadap
layanan informasi perpustakaan. Pada era
Zuckerberg pola komunikasi
perpustakaan mengalami perubahan yang signifikan. Komunikasi melalui media baru
telah menambah kemudahan perpustakaan untuk berkomunikasi dengan pemustaka dan
pemangku kepentingan. Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh umpan balik relatif
cepat dengan adanya media sosial dimana perpustakaan dapat berpartisipasi aktif
didalamnya. Pola komunikasi yang tadinya berjalan satu arah menjadi dialog interaktif
melalui media baru. Interaksi yang terjalin menjadikan kedudukan perpustakaan
dan pemustaka menjadi setara seperti karakteristik pengguna internet dalam global village.
Era media baru telah merubah
komunikasi perpustakaan yang tadinya berjalan satu sarah yang bersifat vertikal
dan satu arah. Pada komunikasi yang bersigat vertical tidak ada kesetaraan
kedudukan antara perpustakaan dengan pemustaka. Kemudian dengan media baru
keduanya mempunyai daya tawar yang sama dalam konteks pemenuhan kebutuhan informasi.
perpustakaan dapat mengetahui kepuasan pengguna terhadap layanan yang
diberikan. Pemustaka mempunyai kesempatan untuk mengirim umpan balik pada
setiap layanan infomasi perpustakaan.
Komunikasi perpustakaan pada
era Gutenberg berlandaskan otoritas dan
pengawasan. Aspek otoritas dan pengawasan erat kaitannya dengan feodalisme yang
menjadi nilai-dilai dasar yang dianut oleh masyarakat kala itu. Perpustakaan
memandang pemustaka sebagai objek dan tujuan akhir pelayanan sehingga
memerlukan kewenangan untuk memberikan pengawasan terhadapnya. Pada era Zuckerberg landasan otoritas dan
pengawasan tidak dapat lagi dijadikan tumpuan. Dampak kesetaraan membuat
perubahan landasan komunikasi menjadi kolaborasi dan saling percaya.
Perpustakaan memandang pemustaka tidak hanya sebagai objek melainkan mitra.
Tujuan perpustakaan dapat tercapai dengan kontribusi pemustaka, begitu pun
sebaliknya.
Nilai-nilai yang berkaitan
dengan stratifikasi sosial yang merupakan warisan zaman terdahulu turut
menambah kultur komunikasi perpustakaan di era Gutenberg. Pustakawan diposisikan sebagai ahli. Pandangan in
bersifat elitis. Sedangkan pada era Zuckerberg yang mewarisi era keterbukaan
dan kesetaraan pustakawan tidak lagi dipandang secara elitis melainkan sebagai
pemandu dan partner pemustaka. Hubungan keduanya dipandang saling
menguntungkan. Pustakawan memandu pemustaka mendapatkan empati dan kesan yang
posisitif. Sedangkan pemustaka memperoleh layanan prima tanpa mengurangi
peluang untuk memberikan umpan balik.
Pada era Gutenberg pemustaka dipandang pasif dan
perilakunya terpola pada kepatuhan dan kedisiplinan serta terdapat batasan yang
jelas dalam interaksinya dengan perpustakaan. Pada era media baru terjadi
perubahan signifikan pada situasi yang kaku tersebut. Salah satunya melalui
komunikasi ilmiah menjadikan interaksi perpustakaan dengan pemustaka lebih dari
sekedar penyedia informasi dan penggunanya. Peluang kolaborasi keduanya dalam
karya ilmiah menjadi semakin terbuka. Pemustaka dapat aktif menjadi “tangan
kanan” perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustaka lainnya.
Contohnya melalui karya ilmiah yang dipublikasikan oleh perpustakaan baik
melalui media penerbitan maupun kolaborasi keduanya dalam kegiatan diseminasi.
Panopticon design
adalah jenis bangunan kelembagaan yang dirancang oleh filsuf Inggris dan pencetus
teori sosial Jeremy Bentham pada akhir abad ke-18. Desain bangunan Panopticon bertujuan untuk memudahkan
pengawasan pada seluruh ruangan yang ada dalam bangunan. Pada era Gutenberg
sebagia besar perpustakaan menganut desain bangunan Panopticon karena prinsip
pengawasan terhadap pemustaka dan simbol otoritas dan relasi kuasa pustawakan
salah satu contoh nilai-nilai Panopticon
yang masih ada hingga sekarang yaitu peraturan tentang larangan berisik dan
mengganggu pemustaka lainnya yang biasanya diserukan pustakawan pada pemustaka.
Pada era Zuckerberg desain
perpustakaan berkembang menuju era keterbukaan. Relasi kuasa dan pengawasan
mengalami perubahan dengan adanya ruang-ruang komunikasi dua arah antara
pustakawan dengan pemustaka. Pemustaka tidak lagi menjadi objek yang harus
diawasi setiap gerak-geriknya, melainkan menjadi mitra bagi perpustakaan. Implementasinya
dapat kita saksikan pada desain bangunan perpustakaan modern yang bukan lagi
berorientasi pada pengawasan melainkan kenyamanan pemustaka. Pada perpustakaan
digital filosofi keterbukaan terlihat dari adanya fungsi umpan balik, misalnya
kolom komentar, dari pemustaka atas
konten dan layanan yang tersedia.
Perpustakaan dipandang
sebagai pusat ilmu pengetahuan pada era Gutenberg.
Perpustakaan identik dengan Temple of
Knowledge yaitu satu-satunya tempat untuk memperoleh jawaban atas berbagai
pertanyaan. Demikian komunikasi lembaga yang terbangun menjadi otoriter. Seiring
perkembangan zaman pada era Zuckerberg
perpustakaan kontemporer menyediakan ruangan ketiga bagi pemustaka. Ruangan ketiga
bukan utnuk fungsi kantor ataupun rumah melainkan tempat yang bersifat netral
bagi pemustaka untuk aktifitas lain misalnya membaca, rekreasi, diskusi dan
aktifitas sosial lainnya. Perpustakaan menjadi ruang publik bagi pemustaka dan
pustakawan bukan saja interaksi dalam
lingkungan fisik, juga di dalam wilayah cyberspace.
Demikian sekilas paparan mengenai
perpustakaan sejak era Gutenberg (cetak)
sampai era Zuckerberg (digital). Sejarah
perpustakaan konvensional yang eksotik menuju perpustakaan digital yang canggih
telah mengembangkan pola komunikasi antara perpustakaan dengan pemustaka dari
relasi kuasa menjadi kolaborasi dan partisipasi. Perpustakaan digital yang kita
kenal sekarang merupakan bentuk nyata era keterbukaan dalam mengakses ilmu
pengetahuan.
REFERENSI
Einasto, O.
(2015). Transforming library communication: from Gutenberg to Zuckerberg. New
Library World, 116(5/6), 247–263.
https://doi.org/10.1108/NLW-05-2014-0055
F. Priyanto, I.
(2017). Perpustakaan Digital. Dipresentasikan pada Materi Kuliah
Perpustakaan Digital Sesi 6, Yogyakarta.
Wikipedia.
(2017a). Panopticon. Diambil 31 Maret 2017, dari
https://en.wikipedia.org/wiki/Panopticon
Wikipedia. (2017b).
Project Gutenberg. Diambil 31 Maret 2017, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Project_Gutenberg
keren tulisannya inspiratif,,
BalasHapusTerima kasih, Mba Tiwi, ditunggu pertanyaannya terkait artikel hehe..
Hapusfeedback saja tidak cukup, komunikasi, kontribusi, dan peran pemustaka sangat penting di waktu sekarang.
BalasHapusTerima kasih koreksinya, Pak Ida. Keterlibatan pemustaka memang lebih dari sekedar feedback. Komunikasi ilmiah baik formal maupun informal melalui karya ilmiah, kontribusi pemustaka dalam pengembangan koleksi adalah aksi nyata keterlibatan pemustaka di era perpustakaan digital.
Hapussaya punya buku bagus, judulnya elegi gutenberg. berkisah soal pergeseran dari media cetak ke digital/internet.
BalasHapus