“Call For Paper!” demikian tulisan yang sering anda
lihat baik dalam poster yang terpampang di papan pengumuman kampus, maupun
secara viral di media sosial. Ketika di penghujung sesi perkuliahan anda
mendengar perkataan dosen “Tugas minggu depan buat paper, dengan topik mengenai
internet of things di perpustakaan
dengan ketentuan spasi 1,5 maksimal 16 halaman, referensi utamakan dari artikel
dalam jurnal ilmiah ya..!” sambil sedikit mengernyitkan dahi terbayang setiap
tahapan penulisan karya tulis ilmiah tersebut secara sistematis. Pernahkah berpikir
ketika menulis paper anda telah turut serta menjadi bagian dalam komunikasi
ilmiah?
Definisi komunikasi ilmiah menurut Priyanto (2016) adalah proses yang terus berlangsung menjadikan pengetahuan
bisa tumbuh dan meluas baik di dalam maupun di luar, lintas, dan antar disiplin
ilmu. Menurut Siswadi (2009) Komunikasi ilmiah (scholarly or scientific communication) adalah komunikasi yang
umumnya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan penelitian atau penyelidikan,
khususnya di lingkungan akademik. Lougee (2007: 312) menjelaskan bahwa melalui
komunikasi ilmiah dapat mempelajari bagaimana para ilmuwan dari berbagai bidang
ilmu (fisika, biologi, sosial, dan ilmu perilaku, humaniora, teknologi)
memanfaatkan dan menyebarkan informasi melalui saluran formal dan informal.
Jadi komunikasi ilmiah merupakan penyerbarluasan informasi ilmiah mengenai berbagai
bidang ilmu pengetahuan.
Prahastuti (2006: 23)
mengutip pendapat Kirez tentang beberapa fungsi komunikasi ilmiah:
- Fungsi sertifikasi yang berhubungan dengan pengesahan kualitas penelitian dan standar ilmiah di dalam program penelitian
- Fungsi registrasi/pendaftaran yang menghubungkan penelitian tertentu dengan ilmuwan individu yang kemudian mengklaim prioritas untuk penelitian tersebut. Fungsi ini berhubungan erat dengan perlindungan kepemilikan, sistem penghargaan, dan pada jangkauan yang luas akan mempengaruhi dinamika sosial dalam sistem.
- Fungsi kesadaran yang mengarah pada kebutuhan informasi.
- Fungsi pengarsipan, fungsi ini berhubungan dengan penyimpanan dan aksesibilitas informasi.
Komunikasi ilmiah berfungsi untuk menjamin kualitas keilmiahan
dalam setiap kegiatan penelitian yang berkaitan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Komunikasi ilmiah mencakup perlindungan terhadap segala hal
terkait kepemilikan, penghargaan dan keberlangsungan karya ilmiah. Termasuk
pengembangan lanjutan untuk kepentingan ilmu pengetahuan yang tentunya
membutuhkan informasi-informasi yang sudah ada sebelumnya. Semua hasil-hasil karya
intelektual yang diperoleh dalam komunikasi ilmiah berserta dinamika
perkembangannya memerlukan fungsi penyimpanan dan pengarsipan secara sistematis
dengan tujuan utama untuk kemudahan temu kembali informasi ilmiah yang terkait
didalamnya.
Salah satu media dalam komunikasi ilmiah adalah jurnal
penelitian. Menurut Suharjana jurnal penelitian adalah adalah sekumpulan
tulisan ilmiah yang berasal dari hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan.
Aspek-aspek yang harus ada dalam jurnal penelitian adalah hasil-hasil
penelitian, edisi penerbitan, ISSN, penerbit, alamat redaksi, daftar isi dan
nama penulis, dan pedoman penulisan jurnal.
Pengelolaan jurnal penelitian dewasa ini sudah
dilakukan secara elektronik melalui aplikasi Open Journal System (OJS). OJS merupakan salah satu aplikasi yang
dikembangkan secara open source untuk mengelola jurnal secara elektronik. Mulai dari
registrasi penulis, submit naskah artikel, tahapan penyuntingan naskah artikel,
copy edit, layout, dan penerbitan. OJS telah membuat pengelolaan jurnal ilmiah
menjadi lebih mudah, praktis, hemat biaya dan menjangkau pembaca yang lebih
luas.
Media komunikasi ilmiah lainnya adalah seminar yang
menghasilkan paper, artikel, dan
karya ilmiah lainnya. Menurut Priyanto (2016) Paper dari penelitian dikirimkan ke lembaga yang mereview &
mendiseminasikannya ke ilmuwan & lembaga-lembaga termasuk perpustakaan yang
melanjutkan diseminasi & preservasi untuk dapat digunakan selanjutnya. Ilmuwan
menghasilkan paper ilmiah baru berdasarkan paper yang dibaca dan disitasi.
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa siklus komunikasi ilmiah akan terus berlangsung melalui sitasi dan pembacaan terhadap paper untuk kepentingan penelitian dan kajian lebih lanjut. Perpustakaan adalah lembaga yang berkepentingan dalam mendiseminasi dan mempreservasi karya ilmiah termasuk paper.
Masih menurut Priyanto (2016), ada empat tahap
siklus publikasi dalam komunikasi ilmiah, yang diadaptasi dari “Educational technologies to facilitate
scientific analysis, and the publication, preservation, and sharing of research
findings” Microsoft (2014) yaitu:
- Conduct research: Collect, research, and analyze data
- Author scientific papers
- Publish and disseminate research
- Archieve, store and preservation
Tahapan pertama dalam siklus publikasi dalam
komunikasi ilmiah yaitu mengadakan penelitian yang meliputi pengumpulan, pencarian
dan analisis data. Dari tahapan pertama tersebut dihasilkan artikel ilmiah
sebagai intisari dan implementasi hasil penelitian. Selanjutnya melakukan
publikasi dan diseminasi terhadap artikel ilmiah dan paper untuk masyarakat
khususnya stakeholder yang terkait agar dapat diterapkan dalam program aksinya.
Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah mengkolaborasi hasil riset dan
diseminasi dengan perpustakaan dalam pengarsipan, penyimpanan dan pengawetannya.
Laporan penelitian, artikel, prosisiding, dan karya ilmiah lainnya dapat
digunakan kembali untuk referensi dalam penelitian lanjutan maupun topik
terkait lainnya yang terkait. Dengan demikian komunikasi ilmiah dapat
berlangsung dengan berkesinambungan.
Siapa saja pelaku yang berperan dalam komunikasi
ilmiah? Pelaku dalam komunikasi ilmiah menurut Priyanto (2016) adalah penulis,
editor, penerbit, distributor, pustakawan dan pembaca.
Penulis adalah peneliti, akademisi, dan praktisi.
Editor berasal dari internal untuk aspek redaksional dan eksternal untuk
substansi yang sesuai dengan kepakarannya. Penerbit bertanggung jawab pada proses
produksi. Kemudian distributor bertugas menyebarluaskan produk publikasi ilmiah.
Peranan berikutnya yaitu pustakawan khususnya embedded librarianship.
Menurut Jake Carlson and Ruth Kneale (2011), the model of embedded librarianship is generating interest as an effective means of applying the knowledge and skills of librarians towards the information challenges of the digital age. Embedded librarianship takes a librarian out of the context of the traditional library and places him or her in an “on-site” setting or situation that enables close coordination and collaboration with researchers or teaching faculty.
Model Embedded librarianship menghasilkan sarana yang efektif dalam penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan pustakawan terhadap tantangan informasi di era digital. Embedded Librarianship mengambil pustakawan keluar dari konteks perpustakaan tradisional dan menempatkan dia di "tempat" pengaturan atau situasi yang memungkinkan koordinasi dan kolaborasi dengan peneliti dan dosen pengajar. Contohnya yaitu pustakawan yang terlibat dalam penelitian baik sebagai peneliti utama maupun anggota tim. Pustakawan yang aktif dalam penulisan paper, kajian literatur dan kajian ilmiah lainnya juga dapat digolongkan kedalam Embedded Librarianship.
Menurut Jake Carlson and Ruth Kneale (2011), the model of embedded librarianship is generating interest as an effective means of applying the knowledge and skills of librarians towards the information challenges of the digital age. Embedded librarianship takes a librarian out of the context of the traditional library and places him or her in an “on-site” setting or situation that enables close coordination and collaboration with researchers or teaching faculty.
Model Embedded librarianship menghasilkan sarana yang efektif dalam penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan pustakawan terhadap tantangan informasi di era digital. Embedded Librarianship mengambil pustakawan keluar dari konteks perpustakaan tradisional dan menempatkan dia di "tempat" pengaturan atau situasi yang memungkinkan koordinasi dan kolaborasi dengan peneliti dan dosen pengajar. Contohnya yaitu pustakawan yang terlibat dalam penelitian baik sebagai peneliti utama maupun anggota tim. Pustakawan yang aktif dalam penulisan paper, kajian literatur dan kajian ilmiah lainnya juga dapat digolongkan kedalam Embedded Librarianship.
Demikian paparan mengenai komunikasi ilmiah. semoga bermanfaat, salam.
DAFTAR
PUSTAKA
Priyanto, Ida Fajar. 2016. Kebutuhan dan Perilaku Informasi, Materi Kuliah Isu-isu Kontemporer Informasi Sesi 7. Yogyakarta: Program Studi Kajian Budaya dan Media Minat Studi Manajemen Informasi dan Perpustakaan UGM
Siswadi, Irman. 2009. Perpustakaan Sebagai Mata
Rantai Komunikasi Ilmilah (Scholarly
Communication). Jakarta : Majalah Visi Pustaka Edisi : Vol. 11 No. 1 -
April 2009
Suharjana. Jurnal Penelitian (Online).( http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/prof-dr-suharjana-mkes/jurnal-penelitian.pdf. Diakses 18 Oktober
2016
Carlson, Jake. Kneale, Ruth. 2011. Embedded Librarianship in the Research Context - Navigating Wew Waters (online). (http://crln.acrl.org/content/72/3/167.full. Diakses 20 Oktober 2016)
Pustakawan yang ikut ambil bagian dari kegiatan scholarly communication adalah pustakawan yang melaksanakan praktek embedded librarianship--berkontribusi dengan kemampuannya untuk sebuah siklus yang berkaitan dengan pihak pihak terkait.
BalasHapusTerima kasih atas koreksinya, Pak Ida. Artikel telah saya perbaiki dengan informasi mengenai Embedded Librarianship, yaitu pustakawan yang terlibat dalam pengembangan keilmuan dan berklaborasi dengan pihak-pihak dalam scholarly communication. Salam.
Hapusterimah kasih
BalasHapus