Kamis, 30 Maret 2017

Komunikasi Perpustakaan di Era Cetak Menuju Digital







Salah satu kriteria perpustakaan digital adalah keterlibatan pemustaka. Menurut Ida F. Priyanto (2017) keterlibatan pemustaka dapat diukur dari seberapa jauh keterlibatan pemustaka dalam perpustakaan digital. Keterlibatan pemustaka antara lain melalui fungsi umpan balik, kolaborasi dalam komunikasi ilmiah dan pengembangan koleksi perpustakaan digital.
Implementasi keterlibatan pemustaka salah satunya pada Project Gutenberg, yaitu upaya yang dilakukan relawan untuk mendigitalisasi dan mengarsipkan setiap karya budaya.  Project Gutenberg merupakan perpustakaan digital tertua yang dirintis oleh Mischael S Hart pada Tahun 1971. Pada aspek keterlibatan pemustaka terdapat interaksi diantara perpustakaan dengan pemustaka. Komunikasi perpustakaan sebagai lembaga terjalin melalui pustakawan. Project Gutenberg merupakan keterbukaan komunikasi di era digital pada perpustakaan. Keterbukaan yang memberikan kesempatan kepada pemustaka untuk memberikan kontribusi dalam pengembangan koleksi perpustakaan digital.
            Bagaimana perkembangan perpustakaan dari sudut pandang komunikasi dengan pemustaka seiring sejarah perpustakaan sejak era cetak hingga digital?  Paper yang ditulis oleh Olga Einasto berjudul “Transforming library communication: from Gutenberg to Zuckerberg” dapat memberikan gambarannya. Olga Einasto (2014) memaparkan perkembangan perpustakaan sejak era cetak, Gutenberg, menuju era digital atau  Global network society” yang diberi istilah era Zuckerberg, dikenal dengan era evolusi komunikasi melalui media sosial. Perkembangan perpustakaan dari era cetak ke era digital turut merubah komunikasi yang terjalin dengan pemustakaanya. Olga Einasto menuangkannya dalam tabel 1 berikut ini:


Berdasarkan keterangan pada table 1 mengenai perubahan komunikasi perpustakaan di era Gutenberg (cetak) dan era Zuckenberg (media Baru) dapat kita pahami sebagai berikut yaitu pada era Gutenberg perpustakaan berorientasi pada koleksi (Collection-Centered). Keberhasilan perpustakaan diukur dari kuantitas dan kualitas koleksi. Sedangkan pada era Zuckerberg (Media Baru) perpustakaan berorientasi pada manusia (Human-centered). Keberhasilan perpustakaan diukur dari seberapa tinggi akses pada konten yang dilakukan oleh pemustaka.
Berikutnya yaitu pola komunikasi perpustakaan pada era Gutenberg dikatakan sebagai “Communication in the building”. Maksudnya adalah proses komunikasi perpustakaan dengan pihak lain baik pemustaka maupun pemangku kepentingan berlangsung secara tatap muka langsung. Saluran komunikasi dengan pola komunikasi tersebut menjadi terbatas karena belum ada medium lain yang dapat dijadikan perantaranya. Komunikasi bersifat monolog  atau satu arah. Tidak ada peluang pemustaka untuk menyempaikan masukan dan respon terhadap layanan  informasi perpustakaan. Pada era Zuckerberg pola komunikasi perpustakaan mengalami perubahan yang signifikan. Komunikasi melalui media baru telah menambah kemudahan perpustakaan untuk berkomunikasi dengan pemustaka dan pemangku kepentingan. Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh umpan balik relatif cepat dengan adanya media sosial dimana perpustakaan dapat berpartisipasi aktif didalamnya. Pola komunikasi yang tadinya berjalan satu arah menjadi dialog interaktif melalui media baru. Interaksi yang terjalin menjadikan kedudukan perpustakaan dan pemustaka menjadi setara seperti karakteristik pengguna internet dalam global village.
Era media baru telah merubah komunikasi perpustakaan yang tadinya berjalan satu sarah yang bersifat vertikal dan satu arah. Pada komunikasi yang bersigat vertical tidak ada kesetaraan kedudukan antara perpustakaan dengan pemustaka. Kemudian dengan media baru keduanya mempunyai daya tawar yang sama dalam konteks pemenuhan kebutuhan informasi. perpustakaan dapat mengetahui kepuasan pengguna terhadap layanan yang diberikan. Pemustaka mempunyai kesempatan untuk mengirim umpan balik pada setiap layanan infomasi perpustakaan.
Komunikasi perpustakaan pada era Gutenberg berlandaskan otoritas dan pengawasan. Aspek otoritas dan pengawasan erat kaitannya dengan feodalisme yang menjadi nilai-dilai dasar yang dianut oleh masyarakat kala itu. Perpustakaan memandang pemustaka sebagai objek dan tujuan akhir pelayanan sehingga memerlukan kewenangan untuk memberikan pengawasan terhadapnya. Pada era Zuckerberg landasan otoritas dan pengawasan tidak dapat lagi dijadikan tumpuan. Dampak kesetaraan membuat perubahan landasan komunikasi menjadi kolaborasi dan saling percaya. Perpustakaan memandang pemustaka tidak hanya sebagai objek melainkan mitra. Tujuan perpustakaan dapat tercapai dengan kontribusi pemustaka, begitu pun sebaliknya.
Nilai-nilai yang berkaitan dengan stratifikasi sosial yang merupakan warisan zaman terdahulu turut menambah kultur komunikasi perpustakaan di era Gutenberg. Pustakawan diposisikan sebagai ahli. Pandangan in bersifat elitis. Sedangkan pada era Zuckerberg yang mewarisi era keterbukaan dan kesetaraan pustakawan tidak lagi dipandang secara elitis melainkan sebagai pemandu dan partner pemustaka. Hubungan keduanya dipandang saling menguntungkan. Pustakawan memandu pemustaka mendapatkan empati dan kesan yang posisitif. Sedangkan pemustaka memperoleh layanan prima tanpa mengurangi peluang untuk memberikan umpan balik.
Pada era Gutenberg pemustaka dipandang pasif dan perilakunya terpola pada kepatuhan dan kedisiplinan serta terdapat batasan yang jelas dalam interaksinya dengan perpustakaan. Pada era media baru terjadi perubahan signifikan pada situasi yang kaku tersebut. Salah satunya melalui komunikasi ilmiah menjadikan interaksi perpustakaan dengan pemustaka lebih dari sekedar penyedia informasi dan penggunanya. Peluang kolaborasi keduanya dalam karya ilmiah menjadi semakin terbuka. Pemustaka dapat aktif menjadi “tangan kanan” perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustaka lainnya. Contohnya melalui karya ilmiah yang dipublikasikan oleh perpustakaan baik melalui media penerbitan maupun kolaborasi keduanya dalam kegiatan diseminasi.
Panopticon design adalah jenis bangunan kelembagaan yang dirancang oleh filsuf Inggris dan pencetus teori sosial Jeremy Bentham pada akhir abad ke-18. Desain bangunan Panopticon bertujuan untuk memudahkan pengawasan pada seluruh ruangan yang ada dalam bangunan. Pada era Gutenberg sebagia besar perpustakaan menganut desain bangunan Panopticon karena prinsip pengawasan terhadap pemustaka dan simbol otoritas dan relasi kuasa pustawakan salah satu contoh nilai-nilai Panopticon yang masih ada hingga sekarang yaitu peraturan tentang larangan berisik dan mengganggu pemustaka lainnya yang biasanya diserukan pustakawan pada pemustaka. Pada era Zuckerberg desain perpustakaan berkembang menuju era keterbukaan. Relasi kuasa dan pengawasan mengalami perubahan dengan adanya ruang-ruang komunikasi dua arah antara pustakawan dengan pemustaka. Pemustaka tidak lagi menjadi objek yang harus diawasi setiap gerak-geriknya, melainkan menjadi mitra bagi perpustakaan. Implementasinya dapat kita saksikan pada desain bangunan perpustakaan modern yang bukan lagi berorientasi pada pengawasan melainkan kenyamanan pemustaka. Pada perpustakaan digital filosofi keterbukaan terlihat dari adanya fungsi umpan balik, misalnya kolom komentar,  dari pemustaka atas konten dan layanan yang tersedia.
Perpustakaan dipandang sebagai pusat ilmu pengetahuan pada era Gutenberg. Perpustakaan identik dengan Temple of Knowledge yaitu satu-satunya tempat untuk memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan. Demikian komunikasi lembaga yang terbangun menjadi otoriter. Seiring perkembangan zaman pada era Zuckerberg perpustakaan kontemporer menyediakan ruangan ketiga bagi pemustaka. Ruangan ketiga bukan utnuk fungsi kantor ataupun rumah melainkan tempat yang bersifat netral bagi pemustaka untuk aktifitas lain misalnya membaca, rekreasi, diskusi dan aktifitas sosial lainnya. Perpustakaan menjadi ruang publik bagi pemustaka dan pustakawan bukan saja interaksi  dalam lingkungan fisik, juga di dalam wilayah cyberspace.
Demikian sekilas paparan mengenai perpustakaan sejak era Gutenberg (cetak) sampai era Zuckerberg (digital). Sejarah perpustakaan konvensional yang eksotik menuju perpustakaan digital yang canggih telah mengembangkan pola komunikasi antara perpustakaan dengan pemustaka dari relasi kuasa menjadi kolaborasi dan partisipasi. Perpustakaan digital yang kita kenal sekarang merupakan bentuk nyata era keterbukaan dalam mengakses ilmu pengetahuan.

REFERENSI
Einasto, O. (2015). Transforming library communication: from Gutenberg to Zuckerberg. New Library World, 116(5/6), 247–263. https://doi.org/10.1108/NLW-05-2014-0055
F. Priyanto, I. (2017). Perpustakaan Digital. Dipresentasikan pada Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 6, Yogyakarta.
Wikipedia. (2017a). Panopticon. Diambil 31 Maret 2017, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Panopticon
Wikipedia. (2017b). Project Gutenberg. Diambil 31 Maret 2017, dari https://en.wikipedia.org/wiki/Project_Gutenberg

Selasa, 21 Maret 2017

PENGUKURAN USABILITAS DALAM PERPUSTAKAAN DIGITAL




“Satu keunggulan iJakarta yang juga disukai Ahok adalah sistem pengembalian buku otomatis. Pembaca tidak perlu menekan tombol apapun jika ingin mengembalikan buku. Buku secara otomatis akan dikembalikan setelah waktu peminjaman habis”.
(Carina, Jessi. 2016. Kecanggihan iJakarta, Perpustakaan Digital yang Dibanggakan Ahok. http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/18/05443191/kecanggihan.ijakarta.perpustakaan.digital.yang.dibanggakan.ahok. Diakses 22 Maret 2017)




    Fitur pengembalian buku otomatis pada perpustakaan digital iJakarta merupakan layanan berorientasi pada pengguna dengan memperhatikan pentingnya aspek usabilitas (Usability). Pengguna perpustakaan digital yang dapat mengakses layanan informasi kapan pun dan dimana pun tidak menjadi hambatan dalam layanan proses sirkulasi koleksi.
    Usabilitas menurut Ida F Priyanto (2017) adalah proses sistematis yang diperlukan untuk mengembangkan sistem yang dapat digunakan pengguna tertentu dalam konteks tertentu. Definisi tersebut dapat dipahami bahwa inti dari usabilitas adalah kemudahan akses pengguna. Di dalam konteks perpustakaan digital usabilitas adalah salah satu implementasi user-oriented. Sistem yang dikembangkan di dalam perpustakaan digital pada intinya untuk memudahkan pengguna mengakses setiap layanan dan koleksi.
    Untuk mengetahui usabilitas dalam sistem perpustakaan digital maka perlu dilakukan suatu evaluasi melalui pengukuran. Menurut Ida F Priyanto (2017) pengukuran usabilitas dalam perpustakaan digital harus memperhatikan aspek-aspek berikut ini yaitu:
  1. Mendefinisikan kelompok pengguna dan apa saja yang dapat dilakukan dengan interface. Pengetahuan mengenai pengguna harus selalu di perbaharui misalnya latar belakang pendidikan dan profesinya. Selanjutnya menambahkan fitur tampilan antar muka perpustakaan digital dengan pilihan sederhana dan mahir.
  2. Perhatikan bahwa masyarakat pengguna selalu berubah dan harus selalu diantisipasi. Poin ini dapat dipahami sebagai keberlanjutan dalam proses pengguna perpustakaan digital. Kesadaran akan perkembangan tren di tengah masyarakat akan membantu perpustakaan digital dalam mengantisipasi pelayanan informasi yang tepat untuk pengguna. 
  3. Lima human factors yang perlu dipertimabangkan dalam pengukuran usabilitas yaitu waktu yang singkat untuk pengguna dalam mempelajari sistem perpustakaan digital. kedua, kecepatan kinerja proses dalam setiap layanan perpustakaan digital tidak membutuhkan waktu yang lama. Ketiga, tindak lanjut setiap error yang dialami pengguna dalam menggunakan layanan perpustakaan digital. Keempat pengetahuan mengenai retensi akses terhadap konten untuk evaluasi. Kelima, menyediakan fitur untuk pengguna dalam menyampaikan feedback mengenai kepuasan dalam layanan informasi perpustakaan digital.


    Pendapat lain mengenai usabilitas dalam perpustakaan digital dikemukakan oleh Steven Buchacan & Adeola Salako (2009) bahwa usabilitas berkaitan dengan aspek interaksi manusia dengan komputer khususnya dalam tampilan antar muka (user interface). Steven Buchacan & Adeola Salako (2009) berpendapat bahwa usabilitas terdiri dari beberapa aspek yaitu:

  1. Effectiveness. Efektifitas merupakan dengan proses dalam hubungannya dengan tujuan dan tingkat keberhasilan pengguna dalam mengakses layanan perpustakaan digital. 
  2. Efficiency. Efisiensi merupakan proses dalam kaitannya dengan produktifitas dan waktu tertentu yang telah digunakan. Artinya setiap usaha untuk menghemat waktu dalam menentukan hasil yang akan diperoleh dalam setiap proses akses informasi. 
  3. Aesthetic appearance. Estetika mengacu pada konsistensi dan kesesuaian desain sistem antarmuka, dalam tata letak tertentu, warna, font, dan sifat grafis. 
  4. Navigation. Navigasi mengacu pada kemudahan pengguna untuk menelusuri setiap tampilan antar muka dan kesadaran mengenai lokasi menu pada setiap konten dalam perpustakaan digital. 
  5. Terminology. Terminologi dianggap sebagai seberapa baik pengguna dapat memahami istilah dan frase yang digunakan untuk menggambarkan fungsi dan konten yang digunakan untuk menggambarkan fungsi atau konten antar muka secara konsisten. 
  6. Learnability. Learnability mengacu pada kemampuan sistem untuk memungkinkan pengguna untuk belajar fungsi-fungsi baru dan meningkatkan produktifitasnya dalam menggunakan setiap layanan dalam perpustakaan digital.


    Steven Buchacan & Adeola Salako (2009) menambahkan faktor usefulness (kegunaan) dalam sistem perpustakaan digital. Usefulness terdiri dari beberapa aspek sebagai berikut yaitu:

  1. Relevance merupakan salah satu aspek yang paling mendasar dari pencarian informasi adalah sebuah konsep multi-dimensi yang berkaitan dengan konten. Relevansi adalah hasil pencarian informasi yang obyektif sesuai dengan kebutuhan pengguna.
  2. Reliability mengacu pada akurasi, kehandalan, dan konsistensi informasi. Reliabilitas juga sering diasosiasikan dengan kredibilitas, yaitu proses kognitif yang kompleks mengenai seleksi informasi.
  3. Currency merupakan pandangan sejauh mana pembaharuan informasi dilakukan secara berkelanjutan dalam sistem 


Tabel 1 Usability and usefulness: a measurement framework

GOAL (Improve..)
QUESTION (Ask If ..)
METRICS (Measure..)
Effectiveness
Information required was located
Tasks completed
Efficiency
The system responded quickly to the task (without delay or error)
Time to complete
Aesthetic appearance
Text type and font size are engaging and readable
Attractiveness

Colours, graphics, and icons have been used appropriately
Appropriateness
Terminology
The terms used to label the menu functions are understandable
Comprehension

The menu functions are logically related
Consistency
Navigation
Orientation is straightforward
Steps to complete
Learnability
Steps required to complete tasks were understandable
Repetition failed commands
Relevance
Information retrieved reflected the query
Relevant results

Information retrieved contributed to the requirement
Utility
Reliability
Information retrieved was from a credible source
Credibility
Currency
Information retrieved is current
Creation date

Information retrieved is valid
Last citation

    Pada table 1 tersebut diatas mengemukakan mengenai pengukuran tingkat usabilitas dan kegunaan sistem yang dapat diterapkan dalam pengembangan perpustakaan digital. Pada kolom tujuan yang ingin dicapai yaitu effectiveness maka indicator yang harus ditanyakan adalah apakah informasi yang dibutuhkan sudah ditemukan. Ukuran keberhasilan effectiveness adalah pengguna telah memperoleh informasi yang sedang dibutuhkannya yang diukur oleh kolom task completed.
    Untuk mencapai Efficiency maka indikatornya adalah respon sistem yang cepat pada semua pemintaan proses informasi dalam perpustakaan digital. Ukuran efisiensi adalah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap proses layanan perpustakaan digital. Faktor Aesthetic appearance terindikasi dari jenis teks dan ukuran font yang menarik dan mudah dibaca yang terukur oleh aspek daya tarik. Aspek estetika juga terkait dengan warna, grafis, dan ikon yang digunakan secara tepat.
    Terminology indikatornya berupa istilah yang digunakan untuk label setiap fungsi menu mudah  dimengerti yang terukur oleh aspek pemahaman dan fungsi menu secara logis memiliki keterkaitan satu sama lain yang terukur oleh konsistensi. Pada aspek navigation indikatornya adalah orientasi yang mudah pada sasaran yang diukur oleh langkah dalam menyelesaikan setiap proses akses konten perpustakaan digital.
    Learnability indikatornya langkah-langkah yang dapat dimengerti oleh pengguna dalam menggunakan layanan perpustakaan digital. Ukuran dapat terlihat dari setiap perintah yang gagal dieksekusi oleh sistem.  Pada Relevance indikator pertama yaitu hasil pencarian informasi yang mencerminkan kebutuhan pengguna diukur dari tingkat relevansi. Indicator kedua yaitu informasi yang diperoleh pengguna mempunyai kontribusi pada kebutuhan informasinya yang diukur dari aspek kegunaannya.
     Aspek Reliability mempunyai indicator informasi yang diperoleh pengguna berasal dari sumber yang dapat dipercaya yang diukur oleh kredibilitas. Terakhir yaitu Currency indikatornya terdiri dari informasi yang diperoleh pengguna merupakan yang terbaru diukur oleh tanggal pembuatannya. Indicator kedua yaitu informasi yang diperoleh pengguna mempunyai validitas yang diukur oleh keterangan kutipan/ sitasi terakhir.

    Demikian informasi mengenai aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam mengukur usabilitas sistem perpustakaan digital, semoga bermanfaat.

REFERENSI
Buchanan, S., & Salako, A. (2009). Evaluating the usability and usefulness of a digital library. Library Review, 58(9), 638–651. https://doi.org/10.1108/00242530910997928
Carina, J. (2016, Mei 18). Kecanggihan iJakarta, Perpustakaan Digital yang Dibanggakan Ahok. Diambil 22 Maret 2017, dari http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/18/05443191/kecanggihan.ijakarta.perpustakaan.digital.yang.dibanggakan.ahok
F. Priyanto, I. (2017). Faktor-faktor Interface dan Evaluasi. Dipresentasikan pada Materi Kuliah Perpustakaan Digital Sesi 5, Yogyakarta.